Pekanbarukini.com – Suatu hari, saya diminta untuk mengisi tausiyah Ramadhan sebelum shalat tarawih di salah satu masjid. Usai menyampaikan tausiyah sesuai dengan judul yang telah ditentukan pengurus, tanpa basa-basi, salah seorang imam langsung mengambil tempat untuk memimpin shalat tarawih. Seperti biasa, setelah bilal melantunkan beberapa bacaan shalawat dan seruan shalat tarawih, sang imam pun langsung berdiri dan bertakbir memulai shalat.
Imam yang tampil pada malam itu nampaknya sudah berpengalaman. Usianya sudah tak muda lagi. Namun bacaannya terdengar jelas dan nyaring. Surat-surat yang dibacanya pun termasuk surat-surat yang tergolong panjang. Sampai pada sujud kedua pada rakaat kedua tidak ada kekeliruan dalam gerakan maupun bacaan sang imam. Semuanya berjalan lancar.
Namun setelah bangun dari sujud pada rakaat kedua itu, sang imam yang seharusnya duduk tahiyat akhir, justru langsung berdiri. Salah seorang jama’ah pun mengingatkan dengan mengucapkan “subhanallah”. Tetapi sang imam tidak peduli, ia tetap melanjutkan bacaannya. Karena tak sadar akan kesalahannya, jama’ah lain pun ikut mengingatkan saling bersahut-sahutan mengucapkan “subhanallah”. Tetapi sang imam tetap tidak peduli. Ia melanjutkan shalat tarawihnya sampai tiga raka’at lalu kemudian salam.
Setelah selesai salam, sang imam menoleh ke belakang tanpa merasa bersalah dan dengan ucapan yang tendensius mempertanyakan jama’ahnya yang menurutnya ribut-ribut mengucapkan “subhanallah”. Sementara menurutnya, tidak ada kesalahan dalam shalat yang baru saja diimaminya. Para jama’ah pun menyampaikan kekeliruan jumlah raka’at tarawih sang imam. Tetapi sang imam tetap saja merasa jumlah rakaatnya sudah benar.
Karena tak kunjung sadar akan kesalahannya, salah seorang jama’ah meminta saya untuk menjelaskan kekeliruan sang imam. Supaya mudah diingat, saya mengigatkan kembali surat-surat yang telah dibaca oleh sang imam pada raka’at pertama, kedua, dan ketiga. Para jama’ah pun serentak membenarkan penjelasan saya. Mendengar penjelasan saya, sang imam mengiyakan dengan nada ketus dan langsung melanjutkan shalat.
Dalam konteks fikih, seorang imam shalat yang keliru dalam gerakan maupun bacaan shalatnya adalah sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar adalah ketika sang imam bingal dan ngotot merasa paling benar sehingga mengabaikan teguran dari jama’ah.
Apalagi yang telah mengingatkannya bukan hanya satu atau dua orang. Ketika mendapat peringatan dari jama’ahnya, imam harus peka. Jika memang keliru, maka segera sadari dan kembali pada kebenaran, bukan malah mencari pembenaran.
Kejadian di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang pemimpin harus peka dan telinganya harus terbuka lebar mendengarkan aspirasi dan kritikan rakyatnya. Bahkan dalam tradisi Islam, mengkritisi pemimpin adalah bagian dari saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran. Bahkah Rasulullah SAW dan para sahabatnya telah mencontohkan kepada umat Islam agar senantiasa terbuka menerima saran dan kritikan.
Seorang pemimpin harus berlapang dada ketika diingatkan dan dikritik, agar ia tidak membawa orang-orang yang dipimpinnya terjerumus dalam kesalahan dan kebinasaan. Namun sayang, tak banyak pemimpin yang siap diingatkan dan dikritik.
Malah sebaliknya, ketika diingatkan dan dikritik, kebanyakan pemimpin justru memusuhi, membenci, menekan dan menyingkirkan orang-orang yang sering mengingatkan dan mengkritiknya. Jika seorang pemimpin bingal, tidak mau diingatkan, dan merasa paling benar sendiri, maka akan terjadi kesalahan, ketidakharmonisan, perpecahan, bahkan kebinasaan.***
Penulis: Susanto Al-Yamin (Guru ngaji dan freelance writer)