PekanbaruKini.com
Headlines Nasional

Harga Tiket Pesawat Mahal, Ini Respons Kemenhub

Pekanbarukini.com (JAKARTA) – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyampaikan tanggapannya terkait melonjaknya harga tiket pesawat. Menurut mereka, tingginya biaya operasional merupakan faktor utama di balik mahalnya harga tiket pesawat.

Saat ini, Kemenhub sedang melakukan evaluasi dan kajian terhadap berbagai aspek yang memengaruhi penentuan harga tiket pesawat. Evaluasi tersebut mencakup komponen harga hingga penataan rute penerbangan.

Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati, menyatakan bahwa langkah ini diambil setelah koordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional.

“Saat ini sesuai hasil rakor, kami tengah melakukan evaluasi dan kajian terhadap berbagai aspek terkait aviasi termasuk komponen harga tiket, penataan rute, dan lain-lain,” beber Adita kepada detikcom pekan ini.

Adita menekankan bahwa pembahasan mengenai tarif penerbangan harus dilakukan lintas sektoral antara kementerian dan lembaga terkait, karena komponen harga mencakup berbagai aspek di luar kewenangan Kemenhub.

“Yang paling penting, satgas dan koordinasi yang dilakukan dapat menghasilkan langkah solutif dan win win untuk semua pihak termasuk operator dan masyarakat pengguna,” ujar Adita.

Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) sebelumnya menyatakan bahwa bisnis penerbangan saat ini sedang lesu dan merugi.

Tarif yang diatur pemerintah dinilai terlalu rendah, sementara biaya operasional terus meningkat, meskipun harga tiket pesawat yang harus dibayarkan masyarakat melonjak.

Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja, menyatakan bahwa saat ini pengusaha maskapai menghadapi kerugian karena tingginya biaya operasional penerbangan, sementara tarif tidak naik sejak 2019.

Untuk penerbangan ekonomi, pemerintah memang mengatur tarif batas atas dan bawah bagi maskapai, aturan ini mengatur penentuan harga tiket pesawat bagi masyarakat. Terakhir kali, tarif batas tersebut disesuaikan pada 2019, sekitar lima tahun yang lalu.

“Saat ini biaya-biaya penerbangan sangat tinggi, melebihi tarif tiket yang telah ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 2019. Akibatnya maskapai rugi dan mengoperasikan penerbangan untuk sekedar dapat hidup dan tidak dapat mengembangkan usahanya,” ujar Denon dalam keterangannya.

Denon menguraikan beberapa biaya tinggi yang menekan maskapai, baik dari operasional maupun non-operasional penerbangan.

Biaya tinggi dari operasional penerbangan, misalnya, adalah harga avtur yang saat ini lebih tinggi dibanding negara tetangga.

Kemudian, adanya antrean pesawat di darat untuk terbang dan di udara untuk mendarat, semakin lama pesawat menunggu maka semakin besar pula potensi bahan bakar yang terbuang.

Belum lagi ada biaya kebandarudaraan dan layanan navigasi penerbangan, serta lain-lain.

Sedangkan biaya tinggi dari non-operasional penerbangan, misalnya, adalah adanya berbagai pajak dan bea masuk yang diterapkan secara berganda.

Denon menjelaskan bahwa hanya di Indonesia terdapat pajak untuk avtur, pajak, dan bea masuk untuk pesawat serta suku cadangnya.

Untuk suku cadang saja sudah dikenai bea masuk, harus ditambah lagi dengan PPN dan PPNBM. PPN juga berlaku untuk setiap tiket pesawat.

“Dengan demikian terjadi pajak ganda. Padahal di negara lain pajak dan bea tersebut tidak ada,” lanjut Denon.

Denon juga menyoroti adanya biaya layanan kebandarudaraan bagi penumpang (Passenger Service Charge/PSC) yang dimasukkan dalam komponen harga tiket.

Hal ini membuat harga tiket pesawat terlihat lebih tinggi. Namun selama ini, hanya maskapai yang disalahkan karena naiknya tiket pesawat, padahal PSC yang menetapkan dan memungutnya adalah pengelola bandara.