Oleh : fatwa aulia saputri,denico surahman sitorus.mahasiswa fakultas hukum universitas lancang kuning
Kita hidup di era di mana pemilu rutin tetap berjalan, parlemen tetap bersidang, dan undang-undang terus dibuat. Tapi apakah itu cukup untuk disebut demokrasi? Apa artinya demokrasi jika oposisi dibungkam, kritik dibatasi, dan hukum digunakan untuk menakut-nakuti rakyat?
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menyaksikan sebuah fenomena serius: hukum mulai digunakan bukan untuk melindungi hak warga negara, tetapi untuk menjaga stabilitas kekuasaan. Kritik dianggap ancaman, oposisi dilabeli pembuat kegaduhan, dan pasal-pasal hukum justru menjadi alat represi yang legal.
⸻
1. Oposisi Dilemahkan, Rakyat Dikelabui
Salah satu ciri demokrasi yang sehat adalah adanya oposisi yang kuat, yang bisa mengawasi dan mengkritik jalannya pemerintahan. Tapi hari ini, oposisi politik di Indonesia terlihat melemah drastis. Banyak partai yang sebelumnya kritis kini bergabung dalam koalisi besar kekuasaan. Publik pun mulai bertanya: siapa sebenarnya yang mengawasi pemerintah?
Di balik panggung politik itu, hukum menjadi instrumen untuk “mengamankan” kekuasaan:
• Aktivis dikriminalisasi karena menyuarakan ketidakadilan.
• Demonstrasi dibubarkan dengan alasan keamanan dan ketertiban.
• UU ITE digunakan secara selektif untuk membungkam kritik di media sosial.
Semua dilakukan dengan dalih “hukum ditegakkan”, padahal sejatinya itu adalah represi dengan wajah legal.
⸻
2. Pasal Karet, Alat Kekuasaan Berkedok Keadilan
Hukum yang baik adalah hukum yang pasti, adil, dan tidak menimbulkan ketakutan. Tapi di Indonesia, kita masih punya banyak “pasal karet” yang bisa ditarik ke mana saja tergantung siapa yang memegangnya.
Contoh yang paling sering disorot:
• Pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian dalam UU ITE.
• Pasal makar yang digunakan untuk mengkriminalkan aktivis Papua atau kelompok oposisi.
• Pasal penghasutan dan berita bohong, yang mudah digunakan untuk membungkam diskusi publik.
Pasal-pasal ini tidak memberi batas yang jelas antara kritik, opini, dan ujaran kebencian, sehingga siapa pun bisa jadi tersangka jika dianggap mengganggu kekuasaan.
⸻
3. Wajah Hukum yang Netral Semu
Di permukaan, semua tampak legal. Ada surat panggilan, ada proses penyelidikan, ada sidang. Tapi jika ditelisik lebih dalam, kita melihat ketimpangan perlakuan hukum antara pengkritik kekuasaan dan pendukungnya.
Beberapa contoh yang jadi sorotan publik:
• Aktivis lingkungan ditangkap karena menolak tambang yang dilindungi elite.
• Konten kreator dipolisikan karena menyindir pejabat.
• Warga desa dikriminalisasi karena menolak penggusuran proyek strategis.
Namun di sisi lain:
• Tokoh elite yang mengancam atau menyebar disinformasi bisa lolos dari jerat hukum.
• Aparat yang melakukan kekerasan hanya dikenai sanksi etik internal.
Di sinilah terlihat jelas: hukum bukan lagi penjaga keadilan, tapi pelayan kekuasaan.
⸻
4. Demokrasi Elektoral Tanpa Demokrasi Substansial
Kita masih punya pemilu, tapi apakah kita masih punya pilihan yang sejati?
Jika semua partai ada di kubu pemerintah, jika kritik selalu dianggap sebagai ancaman stabilitas, dan jika hukum digunakan untuk mengintimidasi lawan politik, maka kita sedang melangkah dari demokrasi menuju otoritarianisme prosedural.
Demokrasi bukan hanya soal memilih lima tahun sekali. Demokrasi adalah tentang kebebasan bersuara, perlindungan hukum yang adil, dan ruang terbuka untuk berbeda pendapat.
Tanpa itu semua, kita hanya punya “kulit demokrasi” yang kosong di dalamnya.
⸻
5. Apa yang Bisa Dilakukan Rakyat?
Saat hukum berpihak pada penguasa, maka suara rakyat harus menjadi penyeimbang. Beberapa langkah penting yang bisa dilakukan:
• Mendorong reformasi hukum, terutama revisi UU ITE dan pembatasan pasal-pasal multitafsir.
• Memperkuat gerakan masyarakat sipil, termasuk organisasi bantuan hukum, komunitas jurnalis independen, dan LSM HAM.
• Menolak normalisasi ketakutan, karena hukum seharusnya memberi rasa aman, bukan ancaman.
Jika rakyat diam, maka represi akan dianggap wajar. Tapi jika rakyat bersuara, maka hukum bisa kembali ke jalur keadilan.
⸻
Penutup: Demokrasi Butuh Kritik, Bukan Kultus Kekuasaan
Negara hukum hanya hidup jika hukum berpihak pada kebenaran, bukan kekuasaan. Ketika hukum digunakan untuk membungkam, maka demokrasi sedang sekarat—meskipun pemilu tetap berlangsung.
Hukum bukan tameng penguasa. Hukum adalah alat rakyat untuk menjaga kebebasan dan kebenaran. Dan selama kita masih bisa berpikir, menulis, dan berbicara, maka hukum yang adil tetap bisa diperjuangkan.***