KAMPAR — Para tokoh adat Kenegerian Mentulik, Kecamatan Kampar Kiri Hilir, menyatakan penolakan keras terhadap perjanjian kerja sama pengelolaan hutan produksi yang dilakukan Koperasi Pancuran Gading Gunung Sahilan dengan PT SPR Trada. Penolakan ini ditegaskan lantaran kerja sama tersebut dinilai mengabaikan hak-hak adat yang sah di kawasan Rantau Kasih.
Jupriadi, Datuk Sanjayo Pucuk Kementerian Adat Mentulik, bersama Agus Salim, Datuk Rajo Melayu, mewakili ninik mamak Pemangku Adat Penguaso Hak Kenegaraan Mentulik, menegaskan bahwa wilayah tersebut merupakan tanah ulayat yang diakui secara administratif maupun historis. Karena itu, segala bentuk kerja sama pengelolaan hutan di kawasan itu harus melalui persetujuan adat.
“Kami tidak pernah memberikan persetujuan terhadap perjanjian tersebut. Prosesnya dilakukan tanpa mekanisme musyawarah adat dan tanpa melibatkan kami selaku pemangku hak adat,” tegas Jupriadi, Senin (14 April 2025).
Perjanjian yang dipersoalkan tersebut dibuat oleh Jon Piter Supius, yang mengklaim dirinya sebagai Ketua Koperasi Pancuran Gading Gunung Sahilan sekaligus mengatasnamakan Masyarakat Adat Gunung Sahilan. Tokoh-tokoh adat Kenegerian Mentulik menilai perjanjian itu cacat hukum, karena tidak melibatkan pihak adat yang sah dan berwenang atas pengelolaan wilayah Rantau Kasih.
Sebagai langkah resmi, para datuk adat Kenegerian Mentulik mendesak PT SPR Trada untuk segera menghentikan seluruh aktivitas pengelolaan hutan di Rantau Kasih. Mereka juga meminta agar perjanjian yang dibuat di hadapan notaris tersebut dibatalkan guna menjaga keharmonisan sosial dan menghormati hukum adat yang berlaku.
“Setiap kerja sama yang berkaitan dengan sumber daya alam di wilayah adat kami wajib melalui musyawarah adat dan melibatkan lembaga adat. Tanpa itu, kerja sama tersebut tidak sah dan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan adat,” lanjut mereka dalam pernyataan tertulis.
Penegasan ini menjadi sinyal kuat bahwa komunitas adat tetap konsisten menjaga wilayah dan hak ulayat mereka dari berbagai upaya yang dinilai mengabaikan keberadaan hukum adat. Para tokoh adat berharap semua pihak, termasuk perusahaan, menghormati adat istiadat sebagai bagian penting dari tata kelola wilayah di Kabupaten Kampar.
Di sisi lain, Direktur Utama PT SPR Trada, Bemi Hendrias, menyatakan bahwa pihaknya akan tetap mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. “Sebagai perusahaan, kami tidak ikut campur dalam polemik ini. Kami akan mematuhi seluruh ketentuan hukum yang ada,” ujarnya.
Dengan munculnya polemik ini, persoalan pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat kembali menjadi sorotan, menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak tradisional dalam pembangunan berkelanjutan. (rilis)